Jumlah wirausahawan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) terus mendorong para insan vokasi untuk mengembangkan kewirausahaan.
Hal ini disampaikan Dirjen Pendidikan Vokasi Kemdikbudristek, Wikan Sakarinto, dalam webinar “Menuju Entrepreneurial University, Mencetak Lulusan Siap Berwirausaha” yang diselenggarakan Direktorat Mitras DUDI, Jumat (3/9/2021).
Wikan mengatakan, selama ini kewirausahaan telah menjadi tipikal dari kegiatan pembelajaran di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Materi pembelajaran kewirausahaan hadir di semua kurikulum di Indonesia sejak belasan tahun lalu.
Namun jumlah wirausahawan di Indonesia masih kurang dibandingkan dengan negara tetangga. “Jumlah wirausahawan Singapura mungkin sudah di atas 10%, kita masih di angka 3%,” ujar Wikan dalam keterangan pers diterima Beritasatu.com, Sabtu (4/9/2021).
Menurut Wikan, sebaiknya insan vokasi jangan terlena oleh mata kuliah kewirausahaan hingga pusat inkubasi bisnis yang telah ada di setiap perguruan tinggi.
Oleh karena itu, Wikan menegaskan, transformasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan 4.000.000 pengusaha baru, sebagai syarat Indonesia untuk benar-benar menjadi lima besar PDB terbesar di dunia.
“Lakukan perubahan atau transformasi setelah ikut seminar ini. Jangan berhenti pada euforia atau mungkin kesadaran sejenak, tetapi nanti lupa bertransformasi, nanti lupa mengeksekusi,” tegas Wikan.
Selanjutnya, Wikan mengatakan, dalam pengajaran nilai kewirausahaan, seringkali insan vokasi langsung membuat purwarupa atau prototype. Insan vokasi membuat produk, tapi belum memastikan pembelinya.
Dalam hal ini, insan vokasi seharusnya terlebih dahulu melakukan riset pasar, yakni pihak pembelinya, jumlah yang dibeli, harga, hingga durasi produk berada di pasar kalau nanti laku.
Wikan mengungkapkan saat ini telah banyak sekolah menengah kejuruan maupun perguruan tinggi yang telah membuat berbagai mesin hingga kendaraan listrik, namun masih terganjal dalam aspek penjualan.
Menurutnya, harus ada pembenahan urutan dalam pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi.
Pada kesempatan sama, Koordinator Pengembangan Produk dan Jasa Badan Pengelola Usaha Polman Bandung Otto Purnawarman menekankan pentingnya penanaman entrepreneurial behaviour. Menurutnya, perguruan tinggi dalam menjalankan program kewirausahaan talentnya bisa dipilih.
Otto menjelaskan bahwa Polman Bandung menerapkan Production Base Education (PBE), yang terdiri dari kurikulum, teori, dan praktik.
“Teorinya terstruktur, maka praktiknya ini harus produk yang dijual di pasar, tapi bisa diatur oleh kurikulum. Polman sampai sekarang membuat model integrasi soal ini,” ungkap Otto.
Owner PT Ristekindo Cipta Global Rida Sakra Muhammad menilai PBE merupakan hasil tempaan yang baik bagi mahasiswa. Melalui PBE tersebut Rida mengaku mendapatkan hard skill, bagaimana cara berkreasi, dan keahlian. Meski begitu, Rida menilai PBE masih kurang dalam hal penjualan.
Alumnus Polman Bandung tersebut meminta kurikulum kewirausahaan tidak hanya berdasarkan teori, tapi juga lebih banyak ke sharing session atau dalam bentuk kuliah umum bersama alumni dan pihak dunia usaha dan dunia industri.
Menurutnya, hal tersebut dapat dilakukan sesering mungkin, agar para mahasiswa terus tertanam jiwa kewirausahaannya. Menjadi pengusaha, menurutnya, merupakan doktrin, sehingga harus terus ditanamkan jiwa entrepreneur-nya.
Sementara itu, Toronata Tambun, founder Aren Energy Investment, mengungkapkan ada perguruan tinggi di Amerika Serikat yang 73% lulusannya sukses menjadi wirausahawan atau entrepreneur.
Kesuksesan mereka terlihat dari keberhasilan mempertahankan usahanya hingga tahun kelima. Sebanyak 90% perusahaan yang dipimpin oleh perempuan dari lulusan perguruan tinggi ini juga sukses hingga tahun kelima.
Meski begitu, alumnus Harvard Business School ini mengungkapkan beberapa fakta yang pahit terkait dunia bisnis, yakni terdapat 90% startup yang gagal di dunia, sedangkan 75% startup yang dimodali oleh venture capital juga gagal.
Kurang dari 50% startup yang sampai tahun kelima. Bahkan, kata Toronata, hanya sepertiga dari startup tersebut yang sampai tahun ke-10.
“Dan yang paling menyedihkan hanya kurang dari 40% yang actually punya profit. Selebihnya hanya bakar uang melulu, tidak sampai selesai terus-terusan bakar uang,” tutur Toronata.
Toronata mengungkapkan 82% bisnis yang gagal biasanya disebabkan oleh masalah cash flow. Perusahaan yang paling banyak gagal justru di industri digital.
Menurutnya, sebenarnya hanya 7% orang yang bisa menjadi pengusaha. Mahasiswa, dosen, dan peneliti 100% bisa menjadi wirausahawan jika memiliki entrepreneurial mindset.
“Opportunity based entrepreneur, jadi orang yang didesain oleh politeknik, sekolah vokasi,” kata Toronata. (*/cr2)
Sumber: aceh.siberindo.co